Hati-hati Kamu Jadi Target Perdagangan Orang! Kenali Ciri dan Modusnya

Denpasar, IDN Times - Kasus perdagangan orang yang korbannya melibatkan perempuan dan anak masih saja terjadi. Ambil saja contoh kasus yang terjadi di Bekasi tahun 2019 lalu. Dua pengemudi ojek online, Steven Agustinus dan Ari Iswantoro, berhasil menyelamatkan anak di bawah umur karena korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Dilansir dari Antara, anak asal Sukabumi ini memesan jasa ojek melalui Steven dan minta diantarkan ke alamat saudaranya yang ada di Bekasi. Namun alamat itu tak kunjung ditemukan. Steven lalu menghubungi Ari, sebagai pimpinan komunitas ojek, untuk membantu anak tersebut mencari alamat.
Ari kemudian berhasil menemukan kontak keluarga korban, dan baru diketahui jika mereka juga menghubungi polisi. Dari informasi keluarganya, anak tersebut menjadi korban TPPO. Ari dan Steven langsung berinisiatif mengantar anak ini ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Berkaca dari kejadian ini, bagaimana sih cara mengetahui seseorang menjadi korban TPPO?
1. Ada tiga unsur untuk mengetahui seseorang menjadi korban TPPO. Satu di antaranya mengendalikan korban dengan cara mengancam

Deputi Menteri Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Prof Vennetia Danes, menyebutkan ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk memastikan apakah seseorang menjadi korban TPPO.
“Mari kita sederhanakan untuk mengidentifikasi TPPO, kita harus memperhatikan tiga unsurnya,” kata Vennetia saat menghadiri seminar "Anak Sebagai Agen Perubahan dalam Pencegahan Perdagangan Orang", di Colony Plaza Renon, Denpasar, Kamis (16/1) lalu.
Tiga hal itu di antaranya:
- Unsur Proses. Yaitu adanya pihak yang merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan atau menerima
- Unsur Cara. Yaitu cara mengendalikan korban seperti penggunaan ancaman, paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, penjeratan utang dan lainnya
- Unsur Tujuan, dalam hal ini bertujuan untuk eksploitasi dalam bentuk seksual, kerja paksa, perbudakan lain dan pengambilan organ tubuh.
“Ketika ketiga unsur tersebut terpenuhi, maka hal itu bisa disebut TPPO. Kecuali untuk kasus-kasus anak, kami akan mengabaikan Unsur Cara. Apabila unsur Proses dan unsur Tujuan terpenuhi, maka sudah bisa disebut sebagai TPPO bagi kasus anak,” tegasnya.
2. Stigma negatif dari lingkungannya membuat korban TPPO semakin terpuruk

Seseorang yang menjadi korban TPPO ini, kata Vennetia, membawa dampak yang sangat besar terhadap psikologinya. Umumnya seperti trauma berat, depresi atau gangguan kejiwaan. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang berakhir dengan kematian.
Setidaknya korban TPPO bisa mengalami luka, cacat fisik, trauma, merasa tidak lagi berguna, rendah diri, sampai sering kali muncul keinginan untuk bunuh diri.
“Tidak bisa dianggap remeh,” tekannya.
Selain itu, menerima stigma negatif dari lingkungannya, membuat korban TPPO semakin terpuruk.
3.Sindikatnya meraup untung besar. Indonesia bahkan menjadi negara penyumbang perdagangan orang ke luar negeri

Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) menyebutkan, keuntungan finansial dari sindikat TPPO perempuan dan anak meraup keuntungan tujuh miliar dolar AS per tahun, dari sekitar dua juta orang yang diperdagangkan setiap tahunnya.
Sementara di Indonesia, setiap tahun diperkirakan ada sekitar 40 ribu hingga 70 ribu perempuan dan anak yang menjadi korban TPPO. Penyebabnya karena Indonesia merupakan negara yang menjadi sumber atau asal perdagangan orang ke luar negeri.
“Khususnya untuk tujuan Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, Jepang, Hongkong, Timur Tengah dan beberapa negara di Eropa. Namun dalam perkembangannya saat ini, Indonesia juga menjadi negara tujuan perdagangan orang yang berasal dari Cina, Hongkong, Uzbekistan, Ukraina dan beberapa negara lainnya. Khususnya untuk tujuan eksploitasi seksual, jadi mereka datang ke Indonesia,” jelasnya.
4. Bali kemungkinan besar menjadi daerah tujuan TPPO, khususnya eksploitasi seksual

Sebagai daerah destinasi wisata yang sangat populer di dalam dan luar negeri, besar kemungkinan Bali menjadi daerah tujuan TPPO. Khususnya untuk tujuan eksploitasi seksual.
“Inilah yang menjadi dasar, mengapa pentingnya bagi kami untuk melakukan sosialisasi aksi pencegahan TPPO di Bali ini,” tegasnya.
Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya TPPO. Yaitu:
- Kondisi ekonomi
- Rendahnya akses pendidikan
- Tidak adanya kesempatan kerja di tempat asal
- Tuntutan konsumerisme
- Keinginan untuk hidup layak
- Ketidaksetaraan gender dan diskriminasi
- Disintregasi keluarga
- Kekerasan Dalam Rumah Tangga
- Pengalaman seksual dini.
Sedangkan faktor yang membuat korban tertarik melakukan TPPO yaitu karena gaya hidup hedonis, daya tarik untuk bekerja di luar kota atau luar negeri, adanya kebiasaan merantau, adanya wisata seks yang diorganisasikan oleh jaringan internasional ,dan menjadikan prostitusi anak sebagai trend di dunia prostitusi. Selain itu pencegahan, pengawasan dan penegakan hukum dalam TPPO juga sangat lemah.
5.Siapa saja bisa menjadi korban perdagangan orang, tidak kenal usia, status, jenis kelamin, dan lainnya

Perlu diketahui, TPPO ini tidak pandang bulu dalam mengincar korban. Siapa saja rentan menjadi korbannya. Bisa saja menimpa orang dewasa dan anak-anak perempuan, termasuk laki-laki.
Namun umumnya yang menjadi korban adalah mereka yang berasal dari keluarga miskin di pedesaan dan daerah kumuh perkotaan, berpendidikan terbatas, anak yang kehilangan orangtua atau walinya, anak yang putus sekolah, perempuan dan anak jalanan, hingga mereka yang mendapat tekanan dari orangtuanya untuk bekerja.
“Jika dikerucutkan lagi mengenai siapa yang paling rentan mengalami TPPO ini, maka jawabannya adalah perempuan dan anak. Itulah mengapa penting sekali melibatkan anak dalam upaya pencegahan TPPO,” jelas Vennetia.
6. Banyak cara modus yang dilakukan oleh sindikat. Ada yang modusnya dijadikan sebagai duta budaya

Ngeri sekali ya melihat fakta-fakta itu. Karena siapa saja bisa menjadi korban perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana modus yang digunakan para pelaku atau sindikat TPPO?
Modus-modus itu di antaranya menjanjikan pekerjaan sebagai kapster salon-salon kecantikan, asisten rumah tangga, pekerja restoran, penjaga toko dan pekerjaan-pekerjaan lain tanpa keahlian namun dijanjikan dengan upah yang tinggi. Tapi kemudian mereka dipaksa bekerja di industri seks ketika sudah sampai di daerah tujuan.
Sedangkan korban yang dieksploitasi masuk ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang. Misalnya jam kerja yang panjang, penyekapan ilegal, upah tidak dibayar atau dikurangi, bekerja karena jeratan utang, diserang fisik psikis dan seksualnya. Bahkan ada beberapa majikan dan agen yang menyita paspor serta dokumen lain, untuk memastikan para tenaga kerja tersebut tidak mencoba melarikan diri.
Tidak hanya itu, para korban ada juga yang dijerat dengan modus dijadikan sebagai duta budaya, dan dijanjikan magang kerja ke luar negeri. Namun kenyataannya ketika di daerah tujuan dipekerjakan, dan dieksploitasi secara seksual maupun lainnya.